“Pada akhirnya, pilihan kita justru jatuh pada tteokbokki, jjajjangmyeon, dan soda.Ck, padahal aku ingin membelikanmu makanan yang lebih mahal.”
Aku tersenyum menanggapi kata-kata suamiku. Kusandarkan kepalaku pada bahunya dengan manja. “Apa yang kita makan tidaklah penting. Yang terpenting adalah dengan siapa kita makan. Dan, selama ada Oppa di sisiku, itu sudah lebih dari cukup.”
Suamiku mengelus lembut puncak kepalaku yang tertutupi kerudung. “Aku memang beruntung memiliki istri pengertian sepertimu, ParkNa Mi,” katanya, yang sukses membuat pipiku merona. “Omong-omong, apa tidak sebaiknya kita segera berbuka? Perutku sudah meneriakkan protes sejak tadi.”
Ah, benar. Aku sampai lupa jika perutku belum kemasukan apa pun kecuali sebutir permen yang tadi aku makan sebelum sholat Magrib.Lekas kuambil dua mangkukjjajjangmyeon berbahan styrofoamdi depanku. Satu kuberikan pada suamiku.
Malam ini kami berbuka di sebuah taman yang terletak di dekat Sungai Han,beralaskan rumput yang baru saja dipangkas serta beratapkan langit kota Seoul yang penuh bintang. Satu kata untuk momen ini: romantis.
Sungguh, aku bersedia mempertaruhkan seluruh tabunganku demi bisa menikmati momen ini setiap hari. Yah, walau uang tabunganku memang tidak seberapa.
“Bagaimana rasanya menjadi mahasiswa jurusan arsitektur?” Suamiku bertanya.
“Sedikit berat pada awalnya. Aku harus membiasakan diri dengan jadwal kuliah yang padat. Tapi semuanya menyenangkan,” sahutku. “Kira-kira, saat kelulusanku nanti, apakah Oppa bisa datang?”
Suamiku mendesah pelan. Respons itu membuatku tertunduk lesu secara refleks.
“Hei, jangan begitu. Kau membuatku merasa bersalah.”Suamiku menyentuh daguku, membuatku mendongak ke arahnya. “Aku akan mengusahakan supaya bisa datang. Lagipula, kau baru saja kuliah. Tidakkah terlalu dini membicarakan kelulusan?”
Mau tidak mau, aku tersenyum menanggapi kalimatnya. Benar juga. Terkadang, aku suka sekali berpikiran terlalu jauh.
“Ah, aku baru ingat. Ada sebuah rumah makan halal yang baru buka di daerah Hongdae. Sahur nanti, bagaimana kalau kita coba makan di sana?”
Aku mengangguk.
“Andai setiap bulan adalah Ramadan, aku pasti senang.” Suamiku bergumam.
Aku mengiakan dalam hati. Baik aku dan suamiku tahu betapa berartinya bulan Ramadan bagi kami.
*****
Beberapahari lagi, Ramadan datang. Sama seperti kebanyakan muslim di dunia, aku pun menantikan momen itu. Yah, walau puasa kali ini terjadi saat musim panas, dimana aku harus menahan hawa nafsu selama kurang lebih 17 jam. Jujur saja, itu tidaklah mudah. Apalagi jika kau berada di antara orang-orang yang bahkan tidak tahu apa itu puasa.
Kusandarkan punggungku pada sebuah pohon besar seraya menyelonjorkan kaki. Lapangan ini adalah salah satu tempat favoritku di kampus. Di sini, aku bisa mengistirahatkan otakku sejenak dari peliknya rutinitas kampus yang membuat kepala berguncang.
Perhatianku teralih pada buku catatan bersampul kuning berbahan beledu yang sedang aku pegang.
Selamat Ulang Tahun, istriku tercinta.
Dari suamimu, yang selalu mencintaimu.
-YoonWon Woo-
Kedua
sudut bibirkutak kuasa terangkat, tiap kali membaca pesan pembuka yang ada dalam
buku catatanku.Suamiku satu itu memang selalu punya cara untuk membuat darahku
berdesir.
Saat
membuka sebuah halaman secara acak, aku kembali tersenyum. Sebuah foto tertempel
di situ. Foto suamiku yang tampak bahagia dengan semangkuk patbingsu di tangannya dan aku yang masih terbalut seragam sekolah.Di
bawahnya ada sebuah catatan kecil yang kutulis: ‘Buka puasa pertama dengan suami’.
*****
Aku menikah ketika aku masih kelas 3
SMA. Banyak yang menganggapku gila karena mau-mau saja dinikahi oleh seorang musisi
tak terkenal yang penghasilannya tak seberapa. Meski begitu, menerima pinangan Won
WooOppa adalah sesuatu yang tidak
pernah aku sesali. Bersamanya, hidupku terasa sempurna–walau banyak kesulitan
yang harus kami hadapi.
Kali pertama aku buka puasa dengan
suamiku, kami memilih pergi ke Seoul Central Mosque. Di tempat itu, telah
banyak orang-orang berkumpul, menanti waktu berbuka. Tak hanya warga asli
Korea, aku juga menjumpai orang-orang dari luar Korea seperti Indonesia,
Malaysia, hingga Turki.
Aku dan suamiku menunggu di pelataran
masjid. Kami duduk di bawah naungan sebuah pohon. Kami mengobrol seputar
kegiatan kami hari ini hingga tak terasa azan telah berkumandang.
Mendengar azan berkumandang di saat puasa
adalah sebuah kebahagiaan tersendiri bagiku. Rasanya, aku seperti mendapat undian
berhadiah rumah semiliar. Dulu, sewaktu kecil, aku selalu menunggu azan di
halaman depan rumah. Dan, aku menjadi yang paling histeris saat azan berkumandang.
Kebiasaan yang masih berlanjut hingga kini.
“Rasa-rasanya, patbingsu
tidak pernah terasa seenak ini
sebelumnya,” kata suamiku, yang tengah lahap menghabiskan patbingsu-nya.
“Itulah salah satu nikmatnya puasa. Makanan
yang sebelumnya kita anggap biasa-biasa saja, akan jadi superlezat.”
Suamiku mencubit pipiku lembut sebagai
respons atas kata-kataku tadi. Senyum manisnya merekah sempurna. Lalu, ia
berkata, “Kau benar. Kalau begini caranya, aku tidak keberatan jika kita harus
berpuasa setiap harinya.”
Sebuah
ide tahu-tahu melintas di otakku. “Oppa, ayo
kita berfoto!” Aku mengeluarkan ponsel dari dalam tas lalu mulai mengatur sudut
penggambilan gambar yang tepat.
Aku tersenyum puas ketika melihat
hasil jepretanku.
“Na Mi-ya.”
Aku melepaskan pandanganku dari layar
ponsel begitu suamiku memanggil. Kedua alisku bertaut ketika mendapati ekspresi
suamiku yang berubah gelisah. Sepertinya, ada sesuatu yang mengganggu
pikirannya.
“A-da apa?” tanyaku, yang jadi
ikut-ikutan gelisah.
“Ada sesuatu yang ingin kubicarakan
denganmu.”
Suamiku tak langsung menyelesaikan
kalimatnya. Agaknya ia ragu antara ingin mengatakannya atau tidak. Jujur saja, itu
membuatku tidak tenang. Suamiku adalah orang yang periang. Karena itu,
mendapatinya dalam keadaan seperti ini membuatku cemas.
“Aku... Ah, nanti saja kita bicarakan.
Kita sholat Magrib dulu. Lihat itu, orang-orang sudah mulai masuk masjid.”
Namun, sisa hari itu hingga beberapa
hari berikutnya, suamiku tak kunjung mengatakan apa yang ingin dikatakannya. Hal
itu membuatku diserang rasa penasaran sekaligus khawatir. Entah kenapa,
intuisiku mengatakan ada hal tidak menyenangkan yang akan terjadi.
Dan, begitu suamiku mengatakan apa
yang ingin ia katakan, duniaku serasa berguncang. Rupanya, intuisiku sedang
bekerja dengan baik. Dan, aku benci itu.
*****
Aku
kembali membuka halaman demi halaman buku catatanku, hingga pada akhirnya tiba
pada sebuah halaman yang menampilkan sebuah daftar tulisan. Aku dan suamiku
selalu menyusun daftar kegiatan apa saja yang ingin kami lakukan selama bulan
puasa. Mulai dari apa yang kita lakukan untuk menunggu waktu berbuka puasa, apa
yang kita makan saat buka puasa, di mana kita akan buka puasa, apa yang kami
lakukan seusai sholat tarawih, hingga apa yang akan kita makan saat sahur.
Selama
puasa, kami selalu berbuka di luar. Itu adalah kemauan suamiku. Menurutnya,
dengan berbuka puasa di luar–terutama di kawasan yang banyak muslimnya–akan
membuat suasana Ramadan terasa lebih kental.
Makan japchaedan permen kapas, jalan-jalan di Hongdae, makan es krim, sahur dengan bibimbap.
Aku
tersenyum sendiri kala membaca beberapa daftar yang aku tulis. Kadang,
keinginanku memang kelewat aneh. Namun, seaneh apa pun keinginan yang aku
tulis, suamiku tidak pernah mengeluh sedikit pun dan selalu memenuhinya.
Aku
kembali membalik halaman-halaman berikutnya, dan dibuat tercenung selama
beberapa saat begitu menemukan sesuatu. Sesuatu tersebut adalahdaftar kegiatan
yang ingin aku lakukan pada puasa dua tahun lalu.
Tiba-tiba
saja perasaan sedih menyerangku.
“Buatlah daftar kegiatan apa saja yang
ingin kau lakukan selama puasa nanti. Saat itu tiba, aku akan memenuhi apa pun
yang kau tulis,”kata suamiku kala itu.
Aku
ingat betul bagaimana antusiasnya diriku ketika menulis daftar kegiatan itu. Terasa
ironis ketika pada akhirnya aku justru dilanda kesedihan tiap kali teringat
daftar-daftar yang aku buat.
*****
Sesuai rencana, aku dan suamiku makan
sahur di salah satu rumah makan halal yang ada di Hongdae. Beberapa orang sudah
duduk manis di meja ketika kami masuk ke rumah makan tersebut.
Rumah makan ini menjual makanan khas
Indonesia. Atas saran dari pemilik rumah makan, kami memilih nasi rawon, sate
telur, dan es beras kencur. Karena keterbatasan tempat duduk, kami pun harus
berbagi meja dengan pengunjung lain.
“Rasanya seperti kembali ke kampung
halaman ketika menikmati masakan Indonesia di negara orang.” Seorang laki-laki
yang duduk di sebelah suamiku tiba-tiba saja mengajak kami mengobrol. Aku
dibuat terkejut oleh bahasa Koreanya yang fasih.
Orang itu lalu bercerita bagaimana
suasana puasa di Indonesia. “Di Indonesia, para pedagang makanan dan minuman
akan menggelar lapak mereka sehabis asar. Suanasa akan ramai seperti di pasar.
Dan itu, sungguh adalah pemandangan yang menyenangkan.”
Suamiku dan orang itu terlibat
pembicaraan seru setelahnya. Aku hanya menyimak penuh antusias. Mengetahui bagaimana
puasa di negara lain adalah sesuatu yang menarik bagiku.
“Saat sahur, TV swasta akan berlomba menyuguhkan
tontonan yang menghibur, yang membuat sahur jadi lebih hidup,” kata orang itu.
“Kadang, ada beberapa komunitas yang mengadakan sahur on
the road. Biasanya, mereka membagikan
makanan pada mereka yang kekuarangan.”
Dan, pembicaraan orang itu dan suamiku
berlangsung hingga kami selesai menikmatip makanan yang kami pesan.
Seusai menghabiskan makanan, aku dan
suamiku jalan-jalan sebentar di sekitar Hongdae–sambil menunggu subuh
menjelang. Berbeda dengan biasanya, kali ini Hongdae cenderung lebih lengang. Hanya
beberapa orang saja yang melintas di sekitar kami.Saking lengangnya, aku bahkan
bisa mendengar dengan jelas suara desah napasku.
“Mendengar cerita orang tadi, aku jadi
ingin meraskaan puasa di Indonesia,” kataku. “Sahur on the road bersama sepertinya
menyenangkan.”
Tanpa kuduga, suamiku mendekap bahuku.
“Memangnya, sahur berdua denganku tidak menyenangkan?”
Aku mencubit pinggangnya, membuatnya
tergelak. “Tidak ada yang lebih menyenangkan dari menghabiskan waktu bersama Oppa.”
“Aigoo, aku jadi terharu,” katanya, pura-pura
tersentuh dengan ucapanku.
“Seandainya, aku bisa menghabiskan
waktu lebih banyak bersama Oppa. Tidak hanya ketika puasa dan lebaran saja.”
Aku tahu jika ini adalah topik
sensitif di antara kami. Kami mencoba sebisa mungkin untuk tidak membahas masalah
ini. Entah angin apa yang membuatku tiba-tiba saja membicarakan masalah ini.
“Na Mi-ya....”Suamiku menghentikan langkahnya. Iaberbalik
menghadapku. Kedua tangannya menggenggam tanganku, matanya menatapku intens. “Kau
tahu persis mengapa aku melakukannya. Semua ini demi masa depan kita.”
“Aku tahu. Maaf. Harusnya aku tidak
mengatakannya,” sahutku lemah. “Hanya saja, terkadang aku masih merasa sulit
menghadapi situasi ini.”
Tangan suamiku beralih untuk merangkup
pipiku. “Situasi ini juga sulit bagiku. Bersabarlah sebentar lagi. Saat itu
tiba, aku pastikan aku akan selalu berada di sisimu.”
Saat itu tiba. Entah kapan tepatnya.
Aku pun mengangguk mengerti. Lalu,
kami melanjutkan jalan-jalan kami menyusuri jalanan Hongdae sambil bergandengan
tangan.
Kelak, ketika keinginan kecilku itu
terkabul, aku justru mendapat kejutan lain. Kejutan yang sama sekali tidak
kuinginkan.
*****
Dulu,
satu hal yang kurindukan dari bulan Ramadan adalah suasananya. Aku bingung
bagaimana harus mendeskripsikannya, yang jelas suasana ketika Ramadan berbeda
dengan hari-hari biasanya. Lebih tenang, lebih nyaman, dan sebagainya.
Aku
rindu momen dimana aku menunggu azan magrib dengan penuh antusias, lalu berseru
penuh semangat ketika tiba waktunya berbuka. Aku juga merindukan ketika aku
bisa sholat tarawih bersama keluarga, ketika mendengar ayat-ayat Quran dibacakan,
atau ketika sahur menjelang.
Ketika
menikah, kebiasaan itu masih terus berlanjut. Meski tak seramai sewaktu di
rumahku dulu, namun menjalankan puasa berdua dengan suamiku tak kalah
menyenangkan. Kami memiliki kebiasaan menulis daftar kegiatan apa saja yang
ingin kami lakukan selama bulan puasa.
Kami
yang memang hobi berwisata kuliner, memutuskan untuk bertualang dari satu
restoran halal ke restoran halal yang lain. Sambil menunggu berbuka, kami
biasanya menghabiskan waktu untuk mengobrol santai.
Tak
jarang, kami menghabiskan waktu buka puasa di kafe tempat suamiku tampil. Pekerjaannya
sebagai penyanyi kafe membuat suamiku kadang pulang hingga pagi menjelang. Terkadang,
saat aku libur sekolah, aku menemani suamiku hingga selesai tampil. Setelahnya,
kami akanmencari tempat untuk sahur.
Kebiasaan
kami lainnya ketika puasa tiba adalah kami tak pernah melewatkan patbingsu. Rasa dingin dan manis yang menjalar
di lidah seakan mengobati dahaga kami selama 17 jam berpuasa.
Hatiku
selalu bergetar ketika mengingat momen-momen manis itu. Kini, ketika Ramadan
sebentar lagi akan datang, aku sungguh berharap momen-momen manis itu bisa
kembali terulang. Aku begitu merindukan momen-momen itu.
Aku
sudah menulis beberapa daftar kegiatan yang ingin aku lakukan pada Ramadan kali
ini. ‘Makan patbingsudi taman dekat
Sungai Han’, ‘Berjalan-jalan di
sekitar Dongdaemun’, well hal-hal
seperti itu.
Namun,
di atas semua itu, ada satu hal yang benar-benar aku inginkan. Satu hal yang
aku berharap akan benar-benar terjadi.
*****
“Apa?” Aku bertanya sekali lagi,
memastikan aku tidak salah dengar.Aku baru saja pulang dari sekolah. Seperti
biasa, suamiku telah menyambutku dengan senyum sehangat musim gugurnya. Namun,
kata-kata yang tadi dikatakannya benar-benar membuat kepalaku mendadak
berguncang, seolah baru saja terjadi gempa teknonik yang mahadahsyat.“Oppa,
kau tidak sedang bercanda, kan?”
Suamiku menggeleng lemah.
Jadi, aku tidak salah dengar. Bahwa suamiku
menerima pekerjaan sebagai musisi di kapal pesiar adalah sebuah kebenaran. Juga,
soal iayang hanya diberi libur selama satu bulan dalam rentang satu tahun.
“Itu artinya.... Oppa
akan meninggalkanku sendirian di rumah
ini?”
Baru beberapa bulan aku menikah dan
kini aku harus menghadapi ancaman maut seperti ini. Benar-benar menyebalkan.
“Bukan begitu.” Suamiku mencoba
menenangkanku yang mulai terguncang. “Ini hanya sementara, sampai aku mendapat
penghasilan yang cukup untuk menghidupi keluarga kita. Mereka memberikan gaji
yang cukup tinggi. Aku tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan ini.”
“Selama ini, walau hidup kita
sederhana, kita tidak pernah merasa kekurangan. Kenapa tiba-tiba Oppa
membutuhkan banyak uang?”
Suamiku menyuruhku duduk, walau
enggan, aku pun menurut. Ia mendekap bahuku dengan lembut. “Kontrak menyanyiku
di kafe akan segera berakhir dan mereka tidak berencana memperpanjangnya. Sedangkan
kebutuhan hidup semakin lama semakin tinggi. Ditambah, sebentar lagi kau akan
kuliah–”
“Sudah kubilang, aku tidak perlu
kuliah.” Aku menyela. “Itu hanya akan membuang-buang uang. Lebih baik aku
bekerja–”
“Kau harus kuliah.” Giliran suamiku
yang menyela. “Kau pintar dan berbakat. Kau tidak boleh menyia-nyiakan otakmu.
Lagipula, aku sudah janji pada orangtuamu untuk menguliahkanmu.”
Aku ingin protes tetapi suamiku mendahului. “Bukankah
kau bilang ingin mendesain rumah impian kita? Kita bangun mimpi itu
bersama-sama. Kau yang merancang, aku yang mencari uang. Begitu kan rencana
kita?”
“Tetapi, jika itu membuatku tidak bisa
bersama Oppa, apa
Oppa pikir aku akan bahagia?”
Suamiku menggenggam jemariku. Ia
menatapku penuh kelembutan. “Apa kau pikir aku juga bahagia dengan pilihan
ini?”
Aku menggeleng.
“Terkadang, ada hal-hal yang harus
kita korbankan demi mencapai sesuatu. Sebentar saja, kita korbankan kebersamaan
kita. Hanya sebentar. Demi masa depan kita dan anak kita nantinya. Kau, mengizinkanku,
kan?”
Hati kecilku mengatakan tidak, tentu
saja.Namun, kelembutannya membuat pertahananku goyah. Ini adalah kali pertama Oppa
memohon sesuatu dariku. Aku merasa jahat
jika tidak bisa mengabulkan permintaannya.
Akhirnya, dengan berat hati aku
mengizinkannya menerima tawaran itu.
“Aku pastikan akan pulang ketika puasa
datang. Aku akan meneleponmu setiap hari. Meski kita berjauhan, hati kita tetap
akansaling berdekatan. Benar, kan?” tanyanya, lalu merengkuhku dalam
pelukannya.
Aku mengangguk. Tanpa bisa kucegah,
air matakumenitik perlahan.
*****
Sejak suamiku menerima tawaran untuk
menyanyi di kapal pesiar, praktis aku selalu menunggu supaya bulan Ramadan
cepat datang. Rasanya, aku tidak pernah serindu ini dengan bulan Ramadan. Berbeda
dengan tahun-tahun sebelumnya, aku jadi lebih antusias menyambut Ramadan.
Suatu ketika, suamiku menjemputku
pulang kuliah. Itu adalah saat ketika suamiku mendapatkan libur untuk pertama
kalinya setelah bekerja hampir setahun. Seperti biasa, kami jalan-jalan
sebentar sambil menunggu saat berbuka tiba. Tidak seperti biasanya, suamiku mengajakku
ke pantai.
“Sebenarnya, ada kejutan yang ingin
kusampaikan padamu.”
Aku mengernyit. “Kejutan? Kejutan apa?”
Suamiku tampak berpikir sejenak. “Kontrakku
akan berkahir pada puasa tahun depan. Dan, aku memutuskan untuk tidak
memperpanjang lagi kontraknya.”
“Kenapa?” tanyaku.
“Tabunganku sudah cukup banyak. Selain
itu, seorang teman menawarkan kerja sama padaku. Prospeknya cukup bagus.”
“Jadi?” Aku menggantungkan kalimatku.
“Jadi, mulai puasa tahun depan aku
tidak akan lagi meninggalkanmu sendirian di rumah.”
Aku tidak bisa menjelaskan perasaan
apa saja yang bercampur dalam hatiku. Rasanya, sepertibaru saja menemukan sebuah
harta karun yang sangat berharga. Kalau tidak ingat sedang berpuasa, aku pasti
akanlangsung menghambur ke pelukannya sambil menangis tersedu-sedu.
*****
Namun
rupanya, semesta belum mengabulkan keinginanku. Aku mendapat kejutan beberapa
hari setelah suamiku kembali berlayar. Kapal yang ditumpangi suamiku menabrak
karang dan akhirnya tenggelam. Beberapa orang telah ditemukan dalam keadaan tak
bernyawa. Namun, masih ada beberapa orang yang belum ditemukan; suamiku salah
satunya.
Kejadian
itu terjadi dua tahun lalu. Dan, sampai sekarang, belum ada kejelasan tentang
bagaimana nasib suamiku. Keluarga dan teman-temanku memintaku untuk
mengikhlaskan. Aku benci dengan sikap mereka yang seolah menganggap suamiku
telah tiada.
Sebut
aku bodoh, tetapi selama tidak ada jasad suamiku, aku masih percaya jika dia
masih hidup. Aku tidak pernah lelah untuk menunggunya pulang, seperti yang dulu
dijanjikannya padaku.
“Tunggu aku, aku pasti pulang. Aku
janji. Ah, aku jadi tidak sabar menantikan puasa tahun depan. Padahal, puasa
baru saja berakhir beberapa hari yang lalu,” katanya
waktu itu. “Kuharap, kau menulis
kegiatan-kegiatan yang mengasyikkan. Jangan lupa, jaga kondisimu, jangan
biarkan stres menghampiri. Selama menunggu kepulanganku, tetaplah semangat
menjalani hidup.Fighting!”
Aku
ingat betul bagaimana ekspresi bahagianya kala itu, seolah ia adalah manusia
paling bahagia di dunia. Setelah itu, ia memelukku. Aku ingat iasempat berbisik
padaku. Katanya, “Aku merindukanmu
sebesar aku merindukan bulan puasa.”
Sesaat
sebelum naik kapal, dia minta kami berfoto. Sesuai keinginannya, kami berfoto
bersama. Satu di ponselku, satu di ponselnya.
Foto
itulah yang kini sedang kupandangi. Foto yang kutempel di buku catatanku, yang selalu
kupandangi tiap harinya. Kusentuh foto itu dengan perasaan campur aduk. Rasa
rindu adalah yang paling mendominasi.
Tatapanku
lalu tertuju pada daftar kegiatan yang baru saja aku tulis. Daftar kegiatan
yang aku ingin lakukan pada puasa tahun ini. Dan, hal pertama yang aku tulis–sama
seperti dua tahun ini–adalah bertemu dengan Won Woo Oppa.
Hanya itu.
Aku
tak peduli jika tak bisa makan patbingsu dan
sebagainya. Asal aku bisa bertemu dengan Won Woo Oppa, itu sudah lebih dari cukup.
Sama
seperti puasa dua tahun ini, aku masih tetap percaya bahwa suamiku akan pulang.
Dan, saat itu terjadi, aku akan memeluknya erat dan mengatakan betapa
beruntungnya aku punya suami sepertinya.
Saat itu terjadi.
Entah puasa tahun ini, tahun depan,
atau entah kapan.
Sampai
saat itu terjadi, aku akan tetap menunggunya pulang. Aku berjanji pada diriku
sendiri untuk tidak berhenti berharap.
Bahwa, suatu saat nanti, suamiku akan
kembali ke rumah.
Come Back Home [Short Korean Fiction]
Reviewed by Dhea Safira
on
October 17, 2017
Rating:
Reviewed by Dhea Safira
on
October 17, 2017
Rating:

No comments: